
Konflik yang Semakin Membuka Tabir Geopolitik Timur Tengah
Konflik bersenjata antara Israel dan Iran pada tahun 2025 bukan lagi sekadar retorika politik atau serangan terbatas sebagaimana dekade-dekade sebelumnya. Kini, konflik tersebut telah berubah menjadi pertarungan terbuka yang melibatkan serangan langsung ke instalasi nuklir, rudal balistik yang menghantam kota-kota besar, serta keterlibatan aktif kekuatan besar dunia seperti Amerika Serikat. Dengan melibatkan Gaza dan berbagai proksi seperti Hizbullah, Houthi, dan milisi Syiah di Irak dan Suriah, konflik ini telah meluas melampaui batas-batas tradisional dua negara tersebut. Narasi-narasi simbolis seperti “Rising Lion” semakin mempertegas konflik ini bukan sekadar pertarungan kekuasaan, tetapi juga pertarungan ideologis dan simbolik antara kekuatan Zionisme dan Revolusi Islam Syiah.
Serangan Terbuka Israel dan AS terhadap Fasilitas Nuklir Iran
Pada 13 Juni 2025, Israel melancarkan operasi besar-besaran yang dinamai “Rising Lion”, menargetkan fasilitas nuklir Iran di Natanz, Fordow, dan Esfahan. Operasi ini tidak hanya berupa serangan udara, tetapi juga melibatkan operasi siber dan pasukan khusus yang menghancurkan komponen kritis dari reaktor nuklir. Israel mengklaim operasi ini sebagai tindakan pencegahan terhadap ancaman eksistensial Iran yang semakin dekat mengembangkan senjata nuklir.
Selang beberapa hari kemudian, pada 22-23 Juni 2025, Amerika Serikat secara resmi terlibat dalam serangan ke Iran melalui “Operation Midnight Hammer”. Menggunakan B-2 Spirit stealth bomber dan rudal Tomahawk yang diluncurkan dari kapal perang di Teluk Persia, AS menghantam tiga fasilitas utama: Fordow, Natanz, dan Esfahan. Pentagon mengklaim serangan tersebut menunda program nuklir Iran antara satu hingga dua tahun. Namun, beberapa lembaga intelijen, termasuk Defense Intelligence Agency (DIA), memperkirakan dampak serangan itu hanya memperlambat program Iran dalam hitungan bulan.
Serangan-serangan ini memicu kecaman internasional. Iran menyebutnya sebagai “agresi terang-terangan terhadap kedaulatan nasional” dan berjanji akan membalas secara proporsional.
Rudal ke Tel Aviv dan Pangkalan AS di Qatar
Sebagai respons atas serangan Israel dan AS, Iran meluncurkan Operasi “Glad Tidings of Victory” pada 13 hingga 24 Juni 2025. Iran menembakkan lebih dari 150 rudal balistik dan 100 drone ke wilayah Israel, dengan target utama Tel Aviv, Haifa, dan fasilitas militer di Negev. Sistem pertahanan Iron Dome berhasil mencegat sebagian besar serangan tersebut, tetapi sejumlah rudal menghantam area sipil dan menewaskan sekitar 29 orang serta melukai lebih dari 3000 warga sipil dan militer Israel.
Pada 23 Juni, Iran memperluas serangannya ke pangkalan militer AS di Al Udeid Air Base, Doha, Qatar. Enam rudal dilaporkan menghantam area strategis pangkalan tersebut, menyebabkan kerusakan pada infrastruktur logistik dan komunikasi, walaupun tidak ada laporan korban jiwa signifikan. Ini merupakan pertama kalinya Iran secara terbuka menyerang pangkalan AS di Teluk Persia sejak 2020-an.
Gaza Sebagai Medan Perang Proksi yang Makin Membara
Di Gaza, kelompok Hamas dan Islamic Jihad Palestina (PIJ) mempercepat operasi militernya terhadap Israel, dengan dukungan logistik dan persenjataan dari Iran. Sejak Oktober 2023, Gaza telah menjadi medan uji coba drone bunuh diri dan rudal jarak menengah buatan Iran. Perang di Gaza semakin memperburuk krisis kemanusiaan, dengan ribuan korban jiwa dan kehancuran hampir total infrastruktur sipil.
Konflik Gaza tidak lagi berdiri sendiri sebagai perang antara Israel dan Palestina, melainkan menjadi bagian integral dari konflik regional Iran-Israel. Iran menjadikan Gaza sebagai front barat dari strategi “asimetri total” dalam menghadapi Israel.
Simbolisme Rising Lion dan Perang Psikologis
Simbol “Rising Lion”, yang dipopulerkan dalam propaganda Israel, menggambarkan kebangkitan kekuatan rezim pro dominasi Barat dan Zionisme ala Shah sebelum Revolusi Islam. Simbol ini digunakan dalam narasi resmi Israel untuk membangkitkan semangat revolusi dan melawan apa yang mereka sebut “tirani rezim Khamenei”. Dalam balasannya, Iran menggunakan simbol teologis, memperkuat narasi bahwa mereka adalah negara yang berjihad dan bertahan di tengah kepungan musuh tuhan.
Kedua belah pihak memanfaatkan media sosial dan jaringan berita internasional untuk membentuk opini publik. Iran menampilkan serangan mereka sebagai “perlawanan terhadap penjajahan”, sementara Israel menggambarkan operasinya sebagai “pembelaan terhadap ancaman nuklir”.
Dampak Regional dan Global
Perang Israel-Iran telah menyebabkan efek domino di kawasan Timur Tengah:
- Lebanon: Hizbullah meningkatkan serangan rudalnya ke wilayah utara Israel.
- Yaman: Houthi meluncurkan rudal ke arah Laut Merah, mengganggu jalur pelayaran global.
- Irak dan Suriah: Milisi Syiah menyerang pangkalan AS dan Israel di kawasan tersebut.
- Ekonomi Global: Harga minyak melonjak ke atas $120 per barel karena ancaman terhadap Selat Hormuz.
Amerika Serikat, meski terlibat langsung, kini menghadapi dilema geopolitik. Satu sisi mendukung Israel, sisi lain harus menjaga stabilitas kawasan Teluk yang menjadi kepentingan ekonominya.
Perang atau Stalemate?
Meski eskalasi militer meningkat tajam, kedua belah pihak tampaknya masih berhitung secara strategis. Iran, yang masih ingin menghindari kehancuran total, menahan diri dari meluncurkan serangan nuklir atau menyerang fasilitas sipil besar-besaran. Israel pun tampaknya lebih fokus pada penghancuran fasilitas strategis ketimbang serangan ke populasi sipil secara luas.
Namun demikian, potensi salah kalkulasi tetap besar. Serangan rudal yang berhasil melewati pertahanan bisa memicu respons tak terkontrol dari salah satu pihak, membuka kemungkinan perang skala penuh di Timur Tengah.
Damai yang Rapuh
Pada 24 Juni 2025, di bawah tekanan diplomatik dari Uni Eropa, Rusia, dan China, kedua pihak sepakat untuk menghentikan operasi militer secara bersyarat. Iran menyatakan akan menghentikan serangan jika Israel berhenti menyerang wilayahnya, dan begitu pula sebaliknya. Amerika Serikat menyatakan gencatan senjata ini sebagai “sebuah kemenangan diplomatik”, walaupun banyak pihak menilai bahwa konflik ini belum selesai.
IAEA memperingatkan bahwa program nuklir Iran hanya terhenti sementara, dan pembangunan kembali fasilitas nuklir Iran bisa terjadi dalam hitungan bulan.
Timur Tengah yang Semakin Terpecah
Perang Israel-Iran pada 2025 menunjukkan bahwa konflik Timur Tengah telah bertransformasi menjadi perang multidimensi: militer, ideologi, ekonomi, dan media. Selama kedua negara masih memandang kekuatan militer sebagai solusi utama, siklus kekerasan ini akan terus berulang.
Komunitas internasional perlu mendorong jalur diplomasi yang lebih inklusif dan realistis, yang tidak hanya menekan satu pihak, melainkan mendorong semua aktor regional untuk membangun stabilitas bersama. Tanpa itu, Timur Tengah akan terus menjadi medan pertarungan kekuatan global dan regional yang tak kunjung berakhir.
Referensi:
- Reuters (2025). “Iranian nuclear program degraded by up to two years, Pentagon says.” [Online]
- Al Jazeera (2025). “Iran retaliates against US strikes on nuclear sites.”
- The Guardian (2025). “Israel launches massive strikes on Iranian nuclear sites.”
- Business Insider (2025). “US warplanes bombed Iran’s most protected nuclear sites.”
- IAEA (2025). “Statement on the Iranian nuclear crisis.”
Teks: Endi Muhammad Akbar AS